Kitab Investasi

Rabu, 11 Mei 2016

Tinjauan Syariat Terhadap Jual-Beli Kredit

Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian 

Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam larangan-Nya.

Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).1
Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.

Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan berbagai modifikasi.

Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:

1. Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)

Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.

Rambu-Rambu Kredit

Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di antaranya adalah:

1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar
Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll. Dan kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang tahan lama, seperti; gandum, kurma, beras, dll.

Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas dengan uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara tunai. Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar tidak terjadi praktik riba nasi’ah.

Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ رباً إلا مِثْلًا بِمِثْلٍ ويَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد

Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat:
  1. sama ukurannya
  2. dan dilakukan secara tunai (cash)
Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim).
Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak diperbolehkan jual beli uang, valas, emas atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit.

2. Hindari penundaan serah terima barang

Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima barang. Sebab hal itu merupakan praktik jual beli hutang dengan hutang. Artinya, barang masih berada dalam tanggungan penjual dan uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli.
Inilah praktik jual beli dain bid dain yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab beliau, Al-Mughni2.
Diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343)
Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini sebagai hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil3. Meskipun demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini adalah ijma’.”4

Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit

Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst.

Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang di dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini.

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini. Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini, dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga dan pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.

Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau boleh dilakukan.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296)6

Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’i. Beliau membuat sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (بيعتين في بيعة) kemudian beliau mengatakan, “Yaitu perkataan seseorang, ‘saya jual dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai, dan dua ratus dirham secara kredit.”

Pendapat yang Lebih Kuat
Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam memahami konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut (kredit dengan harga ganda) bukanlah transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di atas. Sedangkan pendapat ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.

Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran yang lebih tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya7, bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal secara kredit.

Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan:
  1. Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.
  2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيءٍ فَليُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
    Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604)

    Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad pemesanan). Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan barang dengan syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu penyerahannya jelas, maka boleh juga dalam akad kredit mengakhirkan penyerahan uang dengan syarat peyerahan barang secara kontan serta nominal pembayaran dan waktu pembayarannya jelas.
Catatan Penting
Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam akad jual beli kredit. Di antaranya adalah;
  1. Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka maka sebesar itulah jumlah uang yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak untuk mengambil lebih, sekalipun pembeli terlambat melunasi pembayaran.

    Misalnya, “A” membeli barang kepada pihak “B” dengan harga 10 juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika ternyata pihak “A”tidak mampu melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B” tidak berhak menaikkan harga yang telah disepakati.
  2. Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga juga sudah disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli. Dengan demikian, penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang dagangannya meskipun uang cicilan kredit belum selesai.
Demikian penjelasan singkat yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat.
**

Daftar Pustaka:
  1. As Syaukani, Muhammad. (2005). “Nailul Author”. Darul Hadis: Kaero, Mesir.
  2. Al Albani, Nasiruddin. “As Silsilah Ash Shahihah”. Darul Ma’arif: Riyadh.
  3. Badri, Arifin. Dr. (2009). “Hukum Perkreditan: Masalah dan Solusinya”. Tersedia: http://pengusahamuslim.com/hukum-perkreditan-masalah-dan-solusinya#.UzHdo3uXOSo. [21 April 2009]

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
 2 Al-Mughni: 3/306
3 Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar: 5/164-165). Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)
 4 Al-Mughni: 3/306
 5 Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Auza’I (lihat: Nailul Authar: 5/ 160) dan juga ulama-ulama yang lain, seperti; Ibnu sirin, Thawus, Sufyan Ats-Tsauri, syaikh Albani, dll. Sebagaimana dinukilkan oleh syaikh Albani tatkala mengomentari hadis no. 2326 di dalam silsilah As Shahihah.
 6 Hadis ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi, demikian pula dihasankan oleh syaikh Albani di dalam Al-Misbah no. 2868
 7 Tahdzibus Sunan
 —
Penulis: Agus Pranowo
Pemurajaah: Ust. Misbahuz Zulam, M.H.I
 Artikel Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar