Allah SWT menurunkan ajaran Islam sebagai tuntunan hidup yang senantiasa mengakomodir kebutuhan umat manusia sesuai dengan prinsip-prinsip dasar norma bisnis yakni diantaranya ketiadaan spekulasi (gambling) yang mendorong aktivitas bisnis yang tidak produktif dan transaksi ribawi yang mengakibatkan eksploitasi ekonomi oleh para pemilik modal (riba nasi’ah dan jahiliyah) atau yang tidak menumbuhkan sektor riil melalui perdagangan dan pertukaran barang sejenis yang ribawi (riba fadhl) sebagaimana yang terjadi pada transaksi trading instrumen derivatif di pasar sukunder terutama dengan underlying valas yang berpotensi memandulkan pertumbuhan ekonomi yang hakiki.
Menurut prinsip mu’amalah syari’ah, jual beli mata uang yang disetarakan dengan emas (dinar) dan perak (dirham) haruslah dilakukan dengan tunai/kontan (naqdan) agar terhindar dari transaksi ribawi (riba fadhl), sebagaimana dijelaskan hadits mengenai jual beli enam macam barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. Rasulullah bersabda: “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, sya’ir dengan sya’ir (jenis gandum), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah secara kontan (yadan biyadin/ naqdan). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat secara kontan.” (HR. Muslim).
Pada prinsip syariahnya, perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fiqih dengan istilah (sharf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. (Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’:58). Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya misalnya Rupiah kepada Rupiah (IDR) atau US Dolar (USD) kepada Dolar kecuali sama jumlahnya (contohnya; pecahan kecil ditukarkan pecahan besar asalkan jumlah nominalnya sama).
Hal itu karena dapat menimbulkan Riba Fadhl seperti yang dimaksud dalam larangan hadits di atas. Namun bila berbeda jenisnya, seperti Rupiah kepada Dolar atau sebaliknya maka dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan market rate (harga pasar) dengan catatan harus efektif kontan/spot (taqabudh fi’li) atau yang dikategorikan spot (taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar yang berlaku sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah (Al-Mughni, vol 4) tentang kriteria ‘tunai’ atau ‘kontan’ dalam jual beli yang dikembalikan kepada kelaziman pasar yang berlaku meskipun hal itu melewati beberapa jam penyelesaian (settelment-nya) karena proses teknis transaksi. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli atau harga pasar (market rate).
Nabi bersabda: “Perjualbelikanlah emas dengan perak semau kalian asalkan secara kontan” dan dalam hadits Ibnu Umar Rasulullah memberikan penjelasan bahwa ketentuan kontan tersebut fleksibel selama dalam toleransi waktu yang lazim, tidak menimbulkan persoalan dan tetap dalam harga yang sama pada hari transaksi (bisi’ri yaumiha).
Dalam praktiknya, untuk menghindari penyimpangan syariah, maka kegiatan transaksi dan perdagangan valuta asing (valas) harus terbebas dari unsur riba, maysir (spekulasi gambling) dan gharar (ketidak jelasan, manipulasi dan penipuan). Oleh karena itu jual beli maupun bisnis valas harus dilakukan dalam secara kontan (spot) atau kategori kontan. Motif pertukaran itupun tidak boleh untuk spekulasi yang dapat menjurus kepada judi/gambling (maysir) melainkan untukmemebiayai transaksi-transaksi yang dilakukan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah guna memenuhi kebutuhan konsumsi, investasi, ekspor-impor atau komersial baik barang maupun jasa (transaction motive). Disamping itu perlu dihindari jual-beli valas secara bersyarat dimana pihak penjual mensyaratakan kepada pembeli harus mau menjual kembali kepadanya pada periode tertentu dimasa mendatang, serta tidak diperkenankan menjual lagi barang yang belum diterima secara definitif (Bai’ Fudhuli) sebagaimana hal itu dilarang dalam hadits riwayat imam Bukhari.
Demikian halnya, dunia perbankan termasuk bank syariah sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan international (ekspor-impor) maupun kebutuhan masyarakat terhadap penukaran valuta asing tidak dapat terhindar dari keterlibatannya di pasar valuta asing (foreign exchange). Hukum transaksi yang dilakukan oleh sebagian bank syariah dalam mua’amalah jual beli valuta asing tidak dapat dilepaskan dari ketentuan syariah mengenai sharf. Bentuk transaksi penukaran valuta asing yang biasa dilakukan bank syariah dapat dikategorikan sebagai naqdan (spot) meskipun penyerahan dan penerimaan tersebut tidak terjadi pada waktu transaksi diputuskan (dealing), melainkan penyelesaiannya (settlement-nya) baru tuntas dalam 48 jam (dua hari) kerja. Fenomena transaksi ini sudah biasa dikenal dalam dunia perdagangan internasional dan tetap disebut transaksi valas spot antar bank. Bahkan jika kebetulan bertepatan dengan libur akhir pekan, serah terima itu baru dapat terlaksana setelah 96 jam kerja. (Dr. As-Saih, Ahkamul ‘Uqud wal Buyu’ fil Fiqh:112, Dr. Sami Hamud, Tathwirul A’mal Al-Mashrafiyah, 372, Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah)
Dengan demikian, hukum transaksi money exchange dalam bentuknya yang sederhana sepanjang dilakukan secara tunai atau dikategorikan tunai (spot) dan jual putus (one shot deal) serta bukan untuk tujuan atau memfasilitasi dan mendukung kegiatan spekulasi pada prinsipnya diperbolehkan menurut syariah Islam berdasarkan akad sharf selama mengindari pantangan syariah dalam bisnis disamping menghindari praktik perdagangan (trading) ala konvensional yang dewasa ini biasa dilakukan di pasar valuta asing antara lain (Lihat, International Journal of Islamic Financial Services, I:1,1999 dan Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI; 2002):
Pertama; perdagangan tanpa proses penyerahan (future non delivery trading) seperti margin trading yaitu transaksi jual-beli valas yang tidak diikuti dengan pergerakan dana dengan menggunakan dana (cash margin) dalam prosentase tertentu (misalnya 10% sebagai jaminan) dan yang diperhitungkan sebagai keuntungan atau kerugian adalah selisih bersih (margin) antara harga beli/jual suatu jenis valuta pada saat tertentu dengan harga jual/beli valuta yang bersangkutan pada akhir masa transaksi. Contohnya dengan margin 10% untuk transaksi US$ 1 juta, pembeli harus menyerahkan dana US$100.000. Dalam perbankan Indonesia, margin trading diatur dalam ketentuan BI dengan minimal cash margin 10%. Dalam sehari dealer maupun bank dapat melakukan transaksi ini berulang-ulang. Adapun penyelesaian pembayaran dan perhitungan untung-ruginya dilakukan secara netto saja. Jadi, jual beli valas yang dilakukan bukan untuk memilikinya, melainkan semata-mata menjadikannya sebagai komoditas untuk spekulasi.
Kedua; transaksi futures yaitu transaksi valas dengan perbedaan nilai antara pembelian dan penjualan future yang tertuang dalam future contracts secara simultan untuk dikirim dalam waktu yang berbeda. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A akan menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per US$ pada 30 Juni 2008, tidak peduli berapa kurs di pasar saat itu. Di satu sisi transaksi ini dapat dipandang sebagai spekulasi, paling tidak berunsur maysir, meskipun disisi lain para pelaku bisnis pada beberapa kasus menggunakannya sebagai mekanisme hedging (melindungi nilai transaksi berbasis valas dari risiko gejolak kurs). Ulama kontemporer menolak transaksi ini karena tidak terpenuhinya rukun jual beli yaitu ada uang ada barang (dalam hal ini ada rupiah ada dollar). Oleh karena itu, transaksi futures tidak dapat dianggap sebagai transaksi jual beli, tetapi dapat ditransfer kepada pihak lain. Alasan kedua penolakannya adalah hampir semua transaksi futures tidak dimaksudkan untuk memilikinya, hanya nettonya saja sebagaimana transaksi margin trading.
Ketiga; transaksi option (currency option) yaitu perjanjian yang memberikan hak opsi (pilihan) kepada pembeli opsi untuk merealisasi kontrak jual beli valutaa asing, tidak diikuti dengan pergerakan dana dan dilakukan pada atau sebelum waktu yang ditentukan dalam kontrak, dengan kurs yang terjadi pada saat realisasi tersebut. Misalnya, A dan B membuat kontrakpada 1 Januari 2008. A memberikan hak kepada B untuk membeli dollar AS dengan kurs Rp 9.350 per dolar pada tanggal atau sebelum 30 Juni 2008, tanpa B berkewajiban membelinya. A mendapat kompensasi sejumlah uang untuk hak yang diberikannya kepada B tanpa ada kewajiban pada pihak B. Transaksi ini disebut call option. Sebaliknya, bila A memberikan hak kepada B untuk menjualnya disebut put option. Ulama kontemporer memandang hal ini sebagi janji untuk melakukan sesuatu (menjual atau membeli) pada kurs tertentu, dan ini tidak dilarang syariah. Namun jelas saja transaksi ini bukan transaksi jual beli melainkan sekedar wa’ad (janji). Yang menjadi persoalan secara fikih adalah adanya sejumlah uang sebagai kompensasi untuk melakukan janji tersebut atau untuk memiliki khiyar (opsi) jual maupun beli.
Transaksi option dapat menjadi lebih rumit. Misalnya A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. Perjanjiannya A menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per dolar kepada B. Transaksi ini lunas. Pada saat yang sama A juga memberikan hak kepada B untuk menjual kembali US 1 juta pada tanggal atau sebelum 30 juni 2008 dengan kurs Rp 9.500 per dolar. Hal ini akan gugur dengan sendirinya bila kurs melebihi Rp 9.500 per dolar, itu pun bila syarat berikutnya terpenuhi.
Keempat, adalah transaksi swaps (currency swap) yaitu perjanjian untuk menukar suatu mata uang dengan mata uang lainnya atas dasar nilai tukar yang disepakati dalam rangka mengantisipasi risiko pergerakan nilai tukar pada masa mendatang. Singkatnya, transaksi swap merupakan transaksi pembelian dan penjualan secara bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan dua tanggal penyerahan yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan oleh bank yang sama dan biasanya dengan cara “spot terhadap forward” Artinya satu bank membeli tunai (spot) sementara mitranya membeli secara berjangka (forwad) . Salah satu contoh transaksi swaps adalah bila bank A dan bank B membuat kontrak untuk bertukar deposito rupiah terhadap dolar pada kurs Rp 9.500 per dolar pada 1 Januari 2008. B menempatkan US$ 1 juta. A menempatkan Rp 9,5 miliar, terlepas dari kurs pasar saat itu. Ulama kontemporer juga menolak transaksi ini karena kedua trasaksi itu terkait (adanya semacam ta’alluq) dan merupakan satu kesatuan sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI. Sebab, bila yang satu dipisahkan dari yang lain, maka namanya bukan lagi transaksi swaps dalam pengertian konvensional.
Adapun pendapat yang membeolehkan transaksi swaps sebagaimana lazim dianut perbankan Islam di Malaysia bahkan menurut mereka kebolehannya dianggap telah demikian jelas sehingga tidak diperlukan lagi fatwa dengan alasannya bahwa bila spot boleh dilakukan dan futures (sebagian suatu janji) juga boleh, maka tentunya swaps pun boleh dilakukan. Namun paling tidak, masih ada dua hal yang dapat dipertanyakan dalam praktek ini yaitu; pertama, bagaimana dengan keberatan sementara ulama akan adanya kompensasi uang untuk transaksi futures yang dibayarkan kepada konterpartinya. Kedua transaksi spot dan futures dalam transaksi swaps itu haruslah terkait satu sama lain. Kontra argumen dari alasan kedua ini adalah dua transaksi dapat saja disyaratkan terkait, selama syaratnya adalah syarat shahih lazim. Bukan hanya swaps yang dibolehkan, dinegara jiran ini juga dikembangkan Islamic Futures Contract. Terlepas dari argumen mana yang lebih kuat dalilnya, adalah kewajiban kita disamping mencari sisi kehati-hatian dan kepatuhan syariah, juga untuk selalu mencari solusi inovasi transaksi yang islami sebagai kebutuhan dunia bisnis akan transaksi dan peranti keuangan (financial instruments) yang terus berkembang.
Kelima; praktik oversold yaitu melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki maupun dibeli, karena ulama melarang penjualan sesuatu yang tidak dimiliki sebagaimana pesan hadits “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau kuasai/miliki” (la tabi’ ma laisa ‘indaka).
Adapun jenis transaksi forward pada perdagangan valas yang sering disebut transaksi berjangka pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang tertentu lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang dan kurs ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Jenis transaksi ini hukum fiqihnya dapat dirumuskan bahwa bila transaksi forward valas dilakukan dalam rangka kebutuhan yang mendesak (hajah) dan terbebas dari unsur maysir (judi), gharar (uncomplate contract), dan riba serta bukan untuk motif spekulasi seperti digunakan untuk tujuan hedging (lindung nilai) yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk mengatasi risiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs yang timbul karena adanya transaksi ekspor-impor atau untuk mendukung kegiatan trade finance. Disamping itu, transaksi berjangka inipun hanya dilakukan dengan pihak-pihak yang mampu dan dapat menjamin penyediaan valuta asing yang dipertukarkan maka bila tindakan tersebut dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesepakatan bersama untuk sama-sama melakukan pertukaran dimasa mendatang dengan kurs (nilai tukar) pasti pada saat kontrak dan sebenarnya transaksinya secara efektif dalam perspektif fiqih tetap bersifat tunai pada waktu jatuh tempo maka hal itu tidak menjadi masalah selama tidak ada ta’alluq dan hanya bersifat janjia (wa’ad) tanpa disertai adanya komitmen kompensasi karena terdapat maslahat bagi kedua belah pihak dan tidak ada dalil satupun yang melarang hal itu. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i (Al-Umm: III/32) dan Ibnu Hazm (Al-Muhalla:VIII/513)
Ketentuan umum tentang seputar kegiatan transaksi jual-beli valuta asing sebgaimana yang saudari tanyakan, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Sharf, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Hal itu, disamping atas dasar kesepakatan (ijma') para ulama bahwa akad al-sharf disyari'at-kan dengan syarat-syarat tertentu, ketentuan tersebut juga merujuk kepada dalil-dalil diantaranya sebagai berikut:
Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 275: "…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….",
Hadits Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa'id al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)" (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban),
Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w. bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi s.a.w. bersabda: “(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.” Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.” Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam: “Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).”
Adapun ketentuan mengenai hukum Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing, dijelaskan dalam fatwa tersebut sebagai berikut:
Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan pen-jualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.
Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang diguna-kan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasi-kan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Adapun sisa uang dinas dan hasil usaha yang menjadi hak Saudari adalah halal selama sumber, prosedur, alokasi dan anggarannya benar, halal dan jelas sebab mungkin Saudari telah melakukan penghematan selama dinas dan menjadi hak saudari untuk memiliki dari surplus tersebut untuk disimpan sebagai investasi maupun jaga-jaga (saving). Dalam hal ini kapanpun uang yang dalam bentuk valas (mata uang asing) tersebut ditukarkan baik karena kebutuhan atau karena nilai tukarnya tinggi adalah tidak menjadi masalah sekalipun memperoleh gain (keuntungan) dari spread penukarannya dibandingkan nilai perolehannya dahulu, seperti seseorang yang memiliki emas tidak ada ketentuan syariah yang mengharuskan kapan menjual atau tetap menyimpannya. Sebab saudari tidak berspekulasi di sini melainkan menyesuikan harga pasar yang pas dengan aset yang saudari miliki dan hak individu atas hartanya dilindungi dalam Islam sesuai kaedah syariah hifdzul maal dan tidak boleh dirugikan oleh siapapun (la dharara wa laa dhirar).
Namun begitu secara makro ekonomi dan kemaslahatan umum (maslahah ‘amah) dengan bertambahnya pemasukan devisa di Tanah Air bila saudari melepaskan devisa yang tersimpan tanpa menunggu tingginya nilai kurs Dolar akibat sentimen pasar, meskipun relatif fluktuatif maka hal itu akan mendongkrak nilai rupiah yang berdampak sedikit ataupun banyak pada perbaikan kondisi nilai tukar rupiah serta turut menjaga dan mendukung perekonomian nasional, maka sebaiknya Saudari lebih memilih untuk menempatkannya dalam simpanan dollar pada perbankan syariah, atau menempatkannya pada portofolio investasi syariah lainnya dalam mata valuta asing, atau menukarkannya kepada mata uang rupiah untuk investasi di dalam negeri baik langsung maupun tidak langsung dalam rangka menumbuhkembangkan sektor riil dan yakinlah bahwa rezki Allah dan berkahnya sudah ditentukan dan tidak bergantung kepada kurs mata uang dolar.
from: eramuslim