Senin, 23 Mei 2016

Jual Beli dalam Syariah

DEFINISI JUAL BELI
  • Jual beli adalah kegiatan saling menukar, terdiri dari 2 kata, yaitu jual (al-bai’) dan beli (al-syirâ`), merupakan 2 kata yang biasanya digunakan dalam pengertian yang sama. Secara etimologi, al-bai’ (jual beli) merupakan bentuk isim mashdar dari akar kata bahasa Arab bâ’a, maksudnya: penerimaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata al-syirâ`. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua (jual dan beli) yang satu sama lain bertolak belakang.
  • Secara terminologi, jual-beli adalah pertukaran harta dengan harta yang lain berdasarkan tujuan tertentu, atau pertukaran sesuatu yang disukai dengan yang sebanding atas dasar tujuan yang bermanfaat dan tertentu, serta diiringi dengan ijab dan qabul.
  • Menurut Sayyid Sâbiq, jual-beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Apabila akad pertukaran (ikatan dan persetujuan) dalam jual-beli telah berlangsung, dengan terpenuhinya rukun dan syarat, maka konsekuensinya penjual akan memindahkan barang kepada pembeli.
  • Demikian pula sebaliknya, pembeli memberikan miliknya kepada penjual, sesuai dengan harga yang disepakati, sehingga masing-masing dapat memanfaatkan barang miliknya menurut aturan dalam Islam. Dalam konteks modern, terminologi jual-beli digunakan untuk menunjukkan proses pemindahan hak milik barang atau aset yang mayoritas mempergunakan uang sebagai medium pertukaran.
DASAR HUKUM JUAL BELI
  • Jual beli hukum asalnya jâiz atau mubah (boleh) berdasarkan dalil dari al-Quran, hadis dan ijma’ para ulama.
1.  al-Quran surat al-Nisa’, 4:29
يآءيها الذين آمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل الا ان تكون تجارة عن تراض منكم
             2.  al-Quran surat al-Baqarah, 2:275
وأحل الله البيع وحرم الربا
             3.  Dalil dari hadis
عن رفاعة بن رافع قال : سئل النبي صلى الله عليه وسلم أي الكسب أطيب ؟
فقال : عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور . ( رواه البزار وصححه الحاكم
                   Artinya: “Dari Rafa’ah bin Rafe r.a bahwa Rasulullah SAW pernah
                   ditanya, pekerjaan apakah yang paling mulia? Lalu Rasulullah SAW
                   menjawab: Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli
                    yang mabrur”. (HR. Albazzar)
  • Menurut Imam al-Syathibi, pakar fiqh mazhab Maliki, hukum jual beli bisa berubah menjadi wajib pada situasi tertentu, misalnya ketika terjadi praktik ihtikar (monopoli atau penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Pemerintah boleh turun tangan mewajibkan pedagang menjual barangnya sesuai ketentuan pemerintah.
  • Hukum jual beli juga bisa menjadi haram, misalnya ketika berkumandang azan Jum’at, meskpiun akadnya tetap sah.
RUKUN JUAL BELI
•  Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada 4, yaitu
1. adanya orang-orang yang berakad: penjual   dan pembeli (al-muta’aqidain)
2.   sighat (ijab dan qabul)
3.  barang yang dibeli (mabi’)
4.  nilai tukar pengganti (tsaman)
•  Menurut Mazhab Hanafi, rukun jual beli hanya satu yaitu adanya kerelaan kedua belah pihak (‘an taradhin minkum). Indikatornya tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga.
SYARAT JUAL BELI
Dalam akad jual beli harus disempurnakan 4 macam syarat:
1.  Syarat In’iqad –> jika salah satunya tidak dipenuhi, akad menjadi batal
2.  Syarat sah –> jika salah satunya tidak dipenuhi, akad menjadi fasid
3.  Syarat Nafadz –> jika salah satunya tidak dipenuhi, akad menjadi mauquf
4.  Syarat Luzum –> jika salah satunya tidak dipenuhi, maka pihak yang
      bertransaksi memiliki hak khiyar, meneruskan atau membatalkan akad
1.  SYARAT INI’IQAD
Menurut Mazhab hanafiyah syarat In’iqad ada 4 macam:
1.Terdapat pada Aqid (orang yang berakad)
  – Aqid harus berbilang ( penjual & pembeli)
  – Aqid harus berakal dan tamyiz
2.Terkait dengan aqad itu sendiri : adanya kesesuaian antara ijab & qabul
3.Terkait dengan tempat aqad : ittihad majlis al-aqd (berada dalam satu majlis)
    , akan tetapi bukan berarti bertemu secara fisik
4.  Terkait Objek transaksi (Ma’qud ‘alaih):
a. Objek transaksi harus ada ketika akad dilakukan. Tidak boleh jual beli Ma’dum (menjual susu yang masih dalam perahannya dll) kecuali salam & istishna
b. Objek transaksi harta yang diperbolehkan secara syara’, & memiliki nilai manfaat bagi manusia
c. Objek transaksi berada dalam kepemilikan penjual ( tidak boleh menjual sesuatu yang dalam kepemilikan orang lain, atau yang berada di alam bebas)
d. Objek transaksi dapat diserah terimakan ketika akad berlangsung atau setelahnya
2.  SYARAT SAH
Akad jual beli tersebut terbebas dari cacat (‘aib) yang meliputi:
1.Jahalah: yg dimaksud disini adalah Jahalah Fahisyah (Ketidakjelasan yang berakibat fatal dan akan menimbulkan perselisihan di antara kedua belah pihak yang bertransaksi, keduanya dalam posisi yang kuat) contoh: ketidakjelasan objek transaksi, baik jenis, macam & kadarnya, ketidakjelasn harga jual dan waktu pembayaran dll
2.  Ikrah: Salah satu pihak diintimidasi dari pihak yang lain untuk melakukan transaksi.Sehingga transaksi yang dilakukan atas dasar paksaan. Menurut Hanafiyah transaksi ini menjadi mauquf, karena jika pihak yang dipaksa telah merelakan transaksi, maka transaksi jual beli menjadi sah.
3.  Tauqit: Transaksi jual beli yang dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya menjual mobil dengan batasan waktu kepemilikan setahun, setelah itu kepemilikan kembali kepada penjual
4.  Gharar : Adanya ketidakpastian tentang objek  transaksi, baik dari segi kriteria ataupun keberadaan objek tersebut
5.Dharar : Adanya bahaya/kerugian yang akan diterima oleh penjual ketika terjadi serah terima barang
6.  Syarat fasid : Penetapan syarat yang akan memberikan manfaat bagi salah satu pihak, dan syarat tersebut bertentangan dengan syara, ‘urf ataupun substansi akad
3.  SYARAT NAFADZ
1.Kepemilikan dan Wilayah
Kepemilikan: objek transaksi merupakan milik murni penjual dan memiliki kemampuan penuh mentransaksikannya.
Wilayah: Hak atau kewenangan seseorang yang mendapat legalitas syar’i untuk melakukan transaksi atas suatu objek tertentu.
2.  Dalam objek transaksi tidak terdapat hak atau kepemilikan orang lain. Jika terdapat hak orang lain, maka akad menjadi mauquf .Seperti menjual barang yang sedang digadaikan atau disewakan kepada orang lain
4.  SYARAT LUZUM
Merupakan syarat yang akan menentukan akad jual beli bersifat sustainable atau tidak, yakni tidak ada ruang bagi salah satu pihak untuk melakukan pembatalan akad.Syarat luzum mensyaratkan terbebasnya akad dari segala macam bentuk khiyar, baik khiyar syarat, khiyar ‘aibi, khiyar ta’yin & khiyar ru’yah. Jika dalam akad jual beli salah satu pihak memiliki hak khiyar, maka akad jual beli tidak  bisa dijamin akan sustainable, suatu saat akat tersebut bisa dibatalkan oleh pihak yang memiliki hak khiyar