Selasa, 05 November 2024

Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Cerpen: "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis

 A. Unsur Intrinsik

  1. Tema:

    • Kritik Sosial dan Keagamaan. Cerpen ini mengangkat tema tentang pentingnya tindakan nyata dalam kehidupan beragama, bukan hanya sekadar beribadah tanpa memahami makna sesungguhnya. Cerpen ini menyentil perilaku tokoh yang rajin beribadah namun lupa akan tanggung jawab sosialnya.
  2. Tokoh dan Penokohan:

    • Tokoh Utama: Kakek. Kakek adalah tokoh sentral yang digambarkan sebagai sosok yang rajin beribadah, taat, dan sering menyendiri di surau. Namun, ia juga digambarkan sebagai seseorang yang cenderung mengabaikan kewajiban sosialnya dalam kehidupan sehari-hari.
    • Pendukung: Ajo Sidi. Ajo Sidi adalah tokoh yang mengkritik cara beribadah Kakek. Ia mengingatkan bahwa hanya beribadah tanpa berbuat baik dalam kehidupan sosial tidak cukup.
    • Tokoh Tambahan: Orang-orang di kampung yang menjadi simbol masyarakat yang pasif.
  3. Alur (Plot):

    • Alur Maju. Cerita dimulai dari kehidupan Kakek yang sehari-hari di surau hingga percakapan dengan Ajo Sidi yang memberikan kritik tajam. Cerita berlanjut dengan kakek yang merasa tertekan oleh kritik tersebut hingga akhirnya surau yang ia jaga mulai roboh, sebagai simbol kegagalan pemahaman agamanya.
    • Tahapan Alur:
      • Pendahuluan: Pengenalan Kakek yang rajin beribadah di surau.
      • Konflik: Ajo Sidi memberi cerita yang menyindir Kakek tentang seseorang yang masuk neraka meskipun rajin beribadah.
      • Klimaks: Kakek merasa tertekan dengan kisah itu, merasa bahwa hidupnya penuh dosa.
      • Antiklimaks: Surau yang selama ini menjadi tempat ibadahnya mulai runtuh.
      • Penyelesaian: Kakek merasa sia-sia dalam hidupnya karena merasa hanya fokus pada ibadah tanpa memperhatikan tanggung jawab sosial.
  4. Latar (Setting):

    • Tempat: Surau kecil di kampung. Surau ini adalah pusat dari kehidupan Kakek, tempat ia beribadah dan tinggal.
    • Waktu: Tidak dijelaskan secara spesifik, namun cerita terjadi pada masa lampau.
    • Suasana: Penuh renungan dan kritik sosial. Suasana cerita penuh dengan rasa introspeksi dan teguran moral.
  5. Sudut Pandang:

    • Sudut Pandang Orang Ketiga Serba Tahu. Narator tidak terlibat dalam cerita dan mengetahui semua perasaan serta pikiran tokoh-tokohnya.
  6. Amanat:

    • Pesan Moral: Beribadah tidak hanya sekadar ritual, tetapi harus dibarengi dengan tindakan nyata dalam kehidupan sosial. Iman dan amal harus berjalan seiring untuk menjadi manusia yang baik dalam agama.

B. Unsur Ekstrinsik

  1. Latar Belakang Pengarang:
    A.A. Navis dikenal sebagai sastrawan yang kritis terhadap kondisi sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia, terutama pada masanya. Dia sering mengangkat isu-isu keagamaan yang menyentuh kehidupan sehari-hari, memperingatkan bahwa agama tidak hanya terbatas pada ritual tetapi juga harus diimplementasikan dalam tindakan nyata.

  2. Kondisi Sosial Masyarakat:
    Cerpen ini ditulis pada masa ketika masyarakat Indonesia masih sangat terikat dengan kehidupan religius, tetapi sebagian dari mereka hanya fokus pada ritual ibadah tanpa memedulikan kewajiban sosial. Melalui cerpen ini, pengarang mencoba mengkritik kondisi tersebut, memperingatkan bahwa agama tidak boleh hanya menjadi formalitas.

  3. Nilai-Nilai Sosial dan Keagamaan:
    Cerpen ini mengandung nilai keagamaan yang sangat kuat, terutama tentang makna ibadah yang sebenarnya. Ada juga nilai sosial, yaitu tentang pentingnya berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya mementingkan ibadah pribadi.


analisis lengkap dari unsur intrinsik cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis:

1. Tema

Tema utama cerpen ini adalah kritik sosial dan keagamaan, yaitu mengingatkan bahwa ibadah tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Cerpen ini menekankan bahwa keberagamaan yang baik tidak hanya berfokus pada kegiatan spiritual, tetapi juga pada peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui karakter Kakek, penulis menyoroti bahwa keberhasilan ibadah diukur bukan hanya dari ketekunan beribadah, tetapi juga dari kepedulian sosial.

2. Tokoh dan Penokohan

  • Kakek:
    Tokoh utama dalam cerita ini adalah Kakek, seorang lelaki tua yang rajin beribadah. Ia digambarkan sebagai sosok yang taat menjalankan perintah agama, tetapi ia melupakan aspek sosial dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Kakek merasa cukup dengan beribadah tanpa melakukan perbuatan baik kepada sesama. Ia merasa bahwa keberhasilan hidup diukur dari seberapa rajin seseorang menjalankan ibadah ritual. Kakek juga digambarkan sebagai sosok yang tertutup dan lebih sering menyendiri di surau.

  • Ajo Sidi:
    Ajo Sidi adalah tokoh yang memberikan teguran kepada Kakek. Ia adalah seseorang yang menyampaikan kritik terhadap kehidupan Kakek melalui sebuah cerita sindiran. Cerita Ajo Sidi menyoroti orang-orang yang hanya beribadah secara ritual tanpa mengindahkan kewajiban sosial, yang pada akhirnya tidak diterima di sisi Tuhan. Ajo Sidi adalah representasi dari pandangan masyarakat yang kritis terhadap perilaku keberagamaan yang hanya bersifat ritualistik.

  • Orang-orang Kampung:
    Tokoh tambahan yang menjadi latar bagi cerita Kakek dan Ajo Sidi. Mereka merupakan simbol dari masyarakat yang bersikap pasif, hanya mengamati tanpa terlibat dalam perubahan sosial. Mereka menyaksikan kehidupan Kakek, tetapi tidak ada tindakan nyata untuk menyadarkannya hingga akhirnya surau roboh.

3. Alur (Plot)

Cerpen ini memiliki alur maju, yang sederhana namun sarat makna. Berikut tahapan alur ceritanya:

  • Pendahuluan: Kakek digambarkan sebagai sosok yang taat beribadah dan selalu berdiam di surau. Surau menjadi tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk beribadah, mengasingkan diri dari kehidupan sosial.

  • Konflik: Ajo Sidi datang dan memberikan sindiran kepada Kakek melalui sebuah cerita. Cerita Ajo Sidi menyinggung bahwa seseorang yang hanya mementingkan ibadah pribadi, tanpa peduli terhadap tanggung jawab sosial, justru tidak diterima di sisi Tuhan.

  • Klimaks: Kakek merasa terpukul dengan sindiran Ajo Sidi dan mulai meragukan makna hidupnya. Ia merasa bahwa seluruh ibadahnya sia-sia karena tidak mengutamakan perbuatan baik terhadap sesama.

  • Antiklimaks: Kakek yang kecewa pada dirinya sendiri menyaksikan surau yang selama ini ia rawat mulai rusak dan runtuh. Surau yang roboh ini seolah menjadi simbol atas kegagalannya dalam memahami makna beragama yang sesungguhnya.

  • Penyelesaian: Cerita ditutup dengan Kakek yang merasa menyesal atas seluruh hidupnya yang ia anggap sia-sia. Robohnya surau menjadi gambaran simbolik atas hancurnya kehidupan Kakek yang tidak seimbang antara ibadah dan peran sosial.

4. Latar (Setting)

  • Tempat:
    Latar utama cerita ini adalah sebuah surau kecil di kampung, tempat di mana Kakek menghabiskan waktunya untuk beribadah. Surau ini bukan hanya sekadar tempat fisik, tetapi juga menjadi simbol keyakinan Kakek yang tidak seimbang antara hubungan dengan Tuhan dan manusia.

  • Waktu:
    Cerpen ini tidak menyebutkan waktu yang spesifik, tetapi dapat dipahami bahwa ceritanya berlatar pada masa lalu, di sebuah kampung dengan masyarakat tradisional.

  • Suasana:
    Suasana dalam cerita ini cukup serius dan sarat dengan renungan. Ceritanya membawa pembaca pada perasaan introspeksi dan kritik terhadap makna ibadah serta tanggung jawab sosial. Ada juga suasana kesedihan dan penyesalan yang tercipta pada akhir cerita, ketika Kakek menyadari kesia-siaan hidupnya.

5. Sudut Pandang

Cerpen ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita, tetapi mengetahui semua perasaan dan pikiran tokoh-tokoh di dalam cerita. Dengan sudut pandang ini, pengarang dapat memberikan sudut pandang kritis terhadap tokoh Kakek tanpa terikat pada satu karakter saja.

6. Amanat

Amanat dalam cerpen ini adalah bahwa ibadah bukan hanya berupa kegiatan ritual, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. A.A. Navis ingin menyampaikan bahwa keberagamaan yang baik bukan hanya dilihat dari seberapa sering seseorang beribadah, tetapi juga dari seberapa besar kepedulian dan kontribusi seseorang terhadap masyarakat dan orang di sekitarnya. Melalui karakter Kakek, pengarang menegaskan pentingnya keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan (ibadah) dan hubungan dengan sesama manusia (tanggung jawab sosial).

Kesimpulan

Cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis menyajikan kritik tajam terhadap keberagamaan yang hanya berfokus pada ritual ibadah tanpa memahami tanggung jawab sosial. Cerpen ini menggunakan tokoh Kakek sebagai simbol manusia yang merasa cukup dengan ibadah formal, namun mengabaikan makna sebenarnya dari keimanan. Penggunaan latar di sebuah surau yang akhirnya roboh memberikan pesan simbolis mengenai pentingnya keseimbangan antara ibadah dan amal perbuatan dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui cerpen ini, pembaca diingatkan untuk tidak hanya mengedepankan ibadah pribadi tetapi juga memperhatikan peran sosial dan kepedulian terhadap sesama.


novel

Robohnya Surau Kami

Cerpen AA Navis

Cerpern “Robohnya Surau Kami” dinukil dari buku kumpulan cerpen berjudul sama karya Ali Akbar Navis (1924-2003). Terbit pertama kali di majalah Kisah pada 1955, cerpen ini bisa dibilang karya paling fenomenal penerima SEA Write Award 1992 tersebut.

KALAU beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk

di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”

“Ajo Sidi.”

“Ajo Sidi?”

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”

“Siapa?”

“Ajo Sidi.”

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”

“Kakek marah?”

“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘Apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain?’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!’

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya, dia pergi kerja.”[]

[Dinukil dari AA Navis, Robohnya Surau Kami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2007, hlm. 1-14.]